Media

Berita, pengumuman dan informasi terkini tentang Grup APRIL

 Bagikan  Email  Cetak

Apa jadinya ketika sebuah perlombaan olahraga berpadu dengan kekayaan budaya berusia ratusan tahun dan masih lestari hingga hari ini? Itulah Pacu Jalur. Tradisi Pacu Jalur adalah lomba mendayung khas Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Setelah sempat vakum selama dua tahun karena pandemi, tradisi ini kembali diadakan di sepanjang Sungai Batang Kuantan sebagai simbol keunikan dan keharmonisan masyarakat Riau.

Sejarah Pacu Jalur

Dimulai dari abad ke-17, Pacu Jalur bermula dari sebuah sistem transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, sebuah daerah di sepanjang Sungai Kuantan. Masyarakat belum mengenal transportasi darat pada waktu itu karena Sungai Kuantan masih menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Mulai dari memancing, mencuci pakaian dan mandi, hingga sebagai jalur transportasi. Kata Jalur sendiri dalam Bahasa tradisional Riau berarti Perahu.

Mampu menampung 40 hingga 60 orang, masyarakat beramai-ramai menggunakan Jalur untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu. Seiring waktu, muncul berbagai Jalur yang diberi ukiran-ukiran indah, selendang, tali-temali dan berbagai aksesoris pemanis lainnya.

Lambat laun, Jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut namun juga sebagai simbol status sosial masyarakat pada kala itu. Pasalnya, hanya datuk-datuk, bangsawan atau penguasa wilayah saja yang dapat mengendarai Jalur berhias. Semakin mewah hiasannya, semakin eksklusif pula Jalur tersebut.

Barulah pada abad ke - 18, warga mulai menggelar lomba adu kecepatan antara Jalur yang sampai hari ini dikenal sebagai Pacu Jalur.

Proses pembuatan Pacu Jalur

Satu hal yang unik dari tradisi Pacu Jalur adalah bahan utama dalam membuat perahunya. Jalur dibuat dari kayu utuh yang diambil dari hutan tertentu dengan syarat tertentu pula. Dalam sejarahnya juga terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk dapat membuat sebuah Jalur, seperti:

  1. Rapek kampuang/banjar atau rapat desa
    Bertujuan untuk membentuk panitia pembuatan Jalur yang dikenal dengan sebutan Pak Tuo atau Tetua Kampung. Dalam tahap ini juga ditentukan hutan lokasi pencarian kayu yang petunjuknya berasal dari dukun kampung.

  2. Mencari kayu
    Mencari pohon yang cocok untuk dijadikan Jalur pun tak bisa sembarangan karena pohon yang layak haruslah memiliki nilai spiritual tinggi. Jenis pohon yang pernah digunakan masyarakat sebagai bahan Jalur diantaranya adalah pohon Balau, pohon Mersawa, pohon Meranti, pohon Balam merah, pohon Banio, pohon Kure, pohon Trembesi, dan pohon Kruing.

  3. Manobang kayu atau menebang kayu
    Setelah menemukan pohon dengan diameter lingkar batang sekitar 45 meter dengan panjang antara 25 hingga 40 meter, Pak Tuo akan melakukan upacara menyemah yaitu pemberian sesajen untuk meminta izin kepada penunggu pohon tersebut.

  4. Mangabung kayu atau memotong kayu
    Proses ini adalah memotong bagian ujung kayu setelah kayu tersebut ditebang. Dalam proses ini juga dilakukan pembersihan seluruh bagian kayu yang akan dibentuk.

  5. Melepas benang dan pendadaan
    Pada tahap ini dilakukan penggukuran kayu menggunakan benang kemudian menentukan bagian dada Jalur. Proses ini dilakukan dengan meratakan bagian atas kayu yang memanjang mulai dari bagian pangkal ke bagian ujung. Bagian kayu yang biasa dibuat sebagai dada adalah bagian atasnya dengan proses pembuatan sekitar tiga hari. Biasanya, proses pendadaan ini memakan waktu sekitar tiga hari.

  6. Mencaruk
    Tahap ini berarti mengeruk bagian kayu yang telah diratakan untuk dilubangi dengan ketebalan yang sama di masing-masing bagiannya. Proses ini memakan waktu antara tiga hingga tujuh hari.

  7. Menggiling, Manggaliak dan membuat perut
    Menggiling adalah melincinkan bagian luar untuk membentuk bakal Jalur menjadi ramping seperti perahu. Sedangkan manggaliak berarti masyarakat akan bergotong royong untuk bersama-sama menelungkupkan Jalur. Setelah Jalur ditelungkupkan, perut Jalur akan dibentuk melengkung dari bagian haluan hingga kemudi.

  8. Membuat lubang kakok
    Lubang akan dibuat pada Jalur dengan menggunakan bor. Lubang ini berfungsi sebagai alat kontrol bagi tukang agar tidak meleset saat mengukur ketebalan perut Jalur. Lubang kakok juga mencegah Jalur pecah saat dipanaskan atau diasap atau dilayur. Lubang-lubang ini nantinya akan ditutup kembali dengan kayu keras.

  9. Manggaliak dan Menggantung timbuku
    Setelah Jalur sudah agak ramping dan ringan, Jalur ditelentangkan kembali untuk kemudian dibuat timbuku atau bendulan-bendulan yang berfungsi sebagai tempat duduk. Timbuku dibuat sejajar antara kedua sisi perut Jalur.

  10. Membentuk haluan atau kemudi
    Ukuran haluan berkisar antara 1 hingga 1.5 meter, setelah itu kemudi dibentuk dengan ukuran kira-kira 2 meter.

  11. Maelo Jalur atau menarik Jalur
    Setelah haluan dan kemudi terbentuk, sebuah Jalur dianggap telah setengah jadi dan siap untuk dibawa pulang ke desa. Lagi-lagi, pekerjaan ini membutuhkan partisipasi banyak warga desa yang akan bergotong royong menarik Jalur. Tahap ini dapat memakan waktu cukup lama hingga lima atau enam minggu.

    Setelah sampai di desa, Jalur akan dihaluskan dan dibentuk agar lebih menarik untuk kemudian diasapi dalam posisi tertelungkup delama 5 jam. Proses panjang ini ditutup dengan menghias Jalur agar terlihat indah dan menarik dan dinamai berdasarkan kesepakatan desa, nama ini nantinya akan disesuaikan dengan motif untuk diukir pada bagian selembayung Jalur.

Pacu Jalur sebagai pariwisata berkelanjutan

Ketika Festival Pacu Jalur kembali diadakan, APRIL dengan bangga turut mendukung penyelenggaraan acara ini agar dapat berlangsung sukses dan meriahnya. Pasalnya, Pacu Jalur merupakan salah satu manifestasi pariwisata berkelanjutan di Riau.

Menurut Organisasi Pariwisata Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), pariwisata berkelanjutan merupakan “Pariwisata yang benar-benar memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan demi memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, linkungan dan masyarakat setempat.”

Melihat karakteristik Pacu Jalur sebagai sebuah tradisi, jelaslah bahwa ajang ini lebih dari sekadar lomba adu cepat atau adu ketangkasan mendayung. Pacu Jalur adalah warisan nilai gotong royong, penghargaan terhadap lingkungan, leluhur dan warisan budaya yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Riau.

Wan Mohd Jakh Anza, General Manager Stakeholder Relations PT RAPP menyampaikan bahwa perusahaan sangat mendukung tradisi tertua di Riau ini.

“Pacu Jalur memberikan kita kesempatan untuk melepas kerinduan dengan menghidupkan kembali industri pariwisata yang sempat tertekan pandemi agar bisa tumbuh secara berkelanjutan. RAPP bangga dapat mendukung pariwisata lewat Festival Pacul Jalur yang merupakan salah satu warisan budaya di Riau.”

Festival Pacu Jalur tidak hanya menarik perhatian turis dari seluruh dunia yang berbanding lurus dengan perputaran roda ekonomi lokal, namun juga kesempatan masyarakat untuk memperkuat akar identitas dan terus mewariskannya pada generasi masa depan.

Artikel Lainnya

Merangkul Keberagaman: Kebersamaan Ramad...
Merangkul Keberagaman: Kebersamaan Ramad... Terletak di Pangkalan Kerinci, Kompleks Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), atau Riau Kompleks, merupakan rumah bagi komunitas dinamis dengan lebih dari 10.00...
Nanas Penyengat Hasil Satu Desa Satu Kom...
Nanas Penyengat Hasil Satu Desa Satu Kom... Beberapa tahun yang lalu, kehidupan Apo, 32 tahun, dan keluarganya sungguh sangat berat. Apo merupakan salah satu warga desa Penyengat yang masih menggantungka...
Life at APRIL: Klub Bola Basket - Karir ...
Life at APRIL: Klub Bola Basket - Karir ... Pada siang hari mereka bekerja sama untuk menanam pohon, hingga memproduksi pulp dan kertas, namun pada malam hari, mereka berkompetisi untuk menembakkan bola b...
 Bagikan  Email  Cetak